Oleh : Ida Rosida
Desentralisasi di Indonesia
Desentralisasi dianggap jadi biang keladi maraknya korupsi kepala daerah. Kurangnya pengawasan dan biaya politik yang mahal membuat korupsi semakin subur.
Indonesia, selama dua dekade terakhir, telah memulai proses desentralisasi sebagai bagian dari proses demokratisasi yang lebih luas, yang mengikuti periode awal pemerintahan terpusat dan pemerintahan otoriter di seluruh nusantara.
Dampak desentralisasi lainnya adalah setiap daerah akan berlomba-lomba menonjolkan kebudayaannya. Sehingga secara tidak langsung, dapat mengakibatkan melunturkan rasa persatuan maupun kesatuan bangsa indonesia.
Desentraliasi juga menyebabkan euforia yang amat berlebihan apabila kewenangan tersebut disalah gunakan untuk kepentingan golongan sendiri, kelompok tertentu, maupun kepentingan pribadi.
Indonesia saat ini sedang menjalankan upaya desentralisasi yang paling cepat dan meluas yang pernah ada dalam sejarah, dimotori oleh kekuatan-kekuatan politik regional yang muncul sejak jatuhnya pemerintahan Suharto yang sentralistik dan otoriter.
Walaupun besar dan beragam, Indonesia pada waktu itu memiliki sistem administrasi dan fiskal yang sangat terpusat. Dalam fiskal 1999, misalnya, pemerintah pusat mengumpulkan 94 persen dari pendapatan pemerintah secara umum dan sekitar 60 persen dari pengeluaran daerah dibiayai oleh transfer dari pusat.
Sistem ini memperlemah hubungan antara permintaan lokal dan pengambilan keputusan dalam hal pelayanan publik lokal, mengurangi akuntabilitas lokal, dan membuat alokasi yang bersifat ad hoc dari sumberdaya fiskal di seluruh daerah.
Proses desentralisasi di Indonesia memerlukan hubungan fiskal dan keuangan yang baru, tanggung jawab politik, garis lintang pembuatan kebijakan, keterlibatan warga negara dan organisasi masyarakat sipil, dan mekanisme akuntabilitas, yang bervariasi menurut bidang kebijakan.
Di bidang kebijakan tertentu dan di daerah tertentu, hal ini telah menyebabkan peningkatan kinerja kebijakan dengan memberikan otoritas dan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan tujuan nasional dengan keadaan lokal, menggunakan pengetahuan lokal, keahlian, dan masukan demokratis dari warga untuk meningkatkan daya tanggap.
Namun, di bidang kebijakan lain atau di daerah tertentu, desentralisasi kemungkinan besar mengakibatkan hilangnya keahlian dari pemerintah pusat dan berkurangnya pengawasan dan akuntabilitas ke pusat, dengan sedikit keuntungan dalam masukan warga dan kontrol demokrasi lokal.
Indonesia adalah negara berkembang berpenghasilan menengah, dengan tantangan khusus dalam pembangunan ekonomi dan struktur pemerintahan.
Banyak lembaga pemerintahan global, seperti Bank Dunia, telah mempromosikan gagasan bahwa prinsip-prinsip tata kelola tertentu bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, yang mereka beri label “tata kelola yang baik”.
Prinsip-prinsip ini mencakup konsep-konsep seperti stabilitas politik, efektivitas pemerintah, supremasi hukum, kualitas peraturan, dan pengendalian korupsi, tetapi juga transparansi dan keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan.
Dalam banyak kasus dan contoh, desentralisasi pada level kota/kabupaten mempunyai kecenderungan untuk mencapai tingkat pemberdayaan yang baik. Secara umum, pemerintah kabupaten/kota adalah tingkat pemerintah yang mempunyai daya jangkau yang dekat dengan masyarakat lokal namun mempunyai daya wilayah yang cukup untuk memberdayakan sumber daya lokal.
Hal ini berarti bahwa pemerintah kabupaten/kota merupakan kunci penting sebagai basis dari pengembangan tata pemerintahan lokal dan pemberdayaan pada tingkat kabupaten/kota mempunyai fungsi penting terhadap masyarakat lokal yang turut serta dalam tata pemerintahan lokal.
Sementara itu, desentralisasi pada tingkat propinsi dalam banyak hal bertujuan untuk mencapai pembangunan ekonomi di tingkat propinsi dan pembangunan kapasitas untuk mendukung dan membantu desentralisasi di tingkat kabupaten/kota.
Desentralisasi Saat Ini
Sejak mendeklarasikan kemerdekaan nasional setelah Perang Dunia Kedua, negara Indonesia telah bergulat dengan upaya untuk mengejar strategi sentralisasi dan desentralisasi.
Keinginan akan negara pusat yang kuat muncul dari upaya mempertahankan persatuan nasional atas nusantara yang luas, dengan penduduk yang besar dengan agama yang besar, budaya, dan keragaman etnis.
Kadang-kadang, fokus pada negara pusat yang kuat ini merupakan respon terhadap kecenderungan pemisahan diri di daerah-daerah tertentu, misalnya di Sumatera dan Sulawasi pada tahun 1950-an, serta di Aceh dan daerah lain dalam beberapa dekade.
Namun, keragaman masyarakat dan sumber daya manusia dan sumber daya alam di seluruh negeri juga menyarankan kebijakan desentralisasi “karena berbagai sumber daya dan kebutuhan berarti bahwa pengambilan keputusan terpusat saja tidak dapat cukup sensitif terhadap faktor lokal (Ranis dan Stewart, 1994).
Dinamika yang sedemikian cepat membuat kebijakan desentralisasi melalui UU 32/2014 mengalami banyak tekanan politik.
Persoalan pengelolaan sumber daya alam di daerah kabupaten/kota tampak semakin tak terkendali membuat pemerintah mengalami semacam kecemasan dalam mengontrol masa depan sumber daya alam di daerah.
Disisi lain Pemilukada dipandang semakin tak efisien dan rentan konflik. Sementara Desa sebagai akar-akar pemerintahan dinilai tak semakin berdaya akibat resapan otonomi daerah sehingga mengurangi kadar otonomi asli yang selama ini diakui dan dihormati negara.
Dengan tiga problem pokok tersebut pemerintah memecah UU 32/2004 menjadi UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagai sumber pijakan desentralisasi, UU 22/2014 Tentang Pemilukada sebagai dasar pijakan politik lokal, serta UU 6/2014 tentang Desa sebagai titik pijak pemberdayaan desa yang mewakili entitas politik, ekonomi dan sosial budaya di level terendah (muhadam labolo, 2015)
Namun demikian kebijakan desentralisasi melalui UU 23/2014 masih dinilai oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai gejala resentralisasi.
Hal itu tercermin dari banyaknya urusan vital yang selama ini berada di kabupaten/kota seperti tambang, kelautan, lingkungan, pendidikan menengah dan hutan berangsur-angsur kembali ke pangkuan pemerintah provinsi atas nama pemerintah pusat.
Sejumlah daerah seperti Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah misalnya turut melakukan judisial revieuw ke MK pada tahun 2015 dalam upaya mengembalikan pergeseran kewenangan kabupaten/kota ke provinsi.
Pergeseran sejumlah kewenangan dilakukan dengan alasan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota selama ini gagal dalam mengelola urusan-urusan vital tersebut selain upaya memperkuat peranan pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat yang selama ini memiliki uang banyak dengan sedikit kewenangan (muhadam labolo, 2015)
Desentralisasi politik melalui UU 8/2015 kembali mempertahankan mekanisme pemilukada langsung sekalipun pada awalnya pemerintah kukuh mengeluarkan UU 22/2014 untuk merespon efisiensi, efektivitas mekanisme serta rentannya konflik horizontal dalam persoalan pemilukada.
Desentralisasi putaran pertama dan kedua yang lebih baru terjadi selama era demokrasi lebih berdampak pada desentralisasi dan terjadi dalam konteks demokratisasi yang lebih luas.
Desentralisasi pertama dimulai pada tahun 1999 ketika UU No. 22/1999 disahkan. Undang-undang tersebut memberikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menghabiskan waktu dua tahun untuk mempersiapkan pelaksanaan desentralisasi.
Gelombang kedua desentralisasi dimulai pada tahun 2004 ketika UU No. 32/2004 disahkan untuk menggantikan undang-undang sebelumnya dari tahun 1999.
Presiden Indonesia yang baru, Joko Widodo, biasa dipanggil Jokowi, mulai menjabat pada 20 Oktober 2014.
Ini adalah peristiwa bersejarah bagi negara dan demokrasi mana pun, menandai pertama kalinya seorang pemimpin terpilih secara populer. Susilo Bambang Yudhoyono, mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada calon lain yang dipilih secara demokratis.
Jokowi muncul bukan dari elit politik dan bisnis Indonesia, tetapi dari gerakan reformasi yang menggulingkan kediktatoran Suharto lebih dari 16 tahun yang lalu. Ciri dari agenda reformasi ini adalah berlanjutnya desentralisasi pembuatan kebijakan ke tingkat lokal dari pusat otoriter masa lalu.
Secara keseluruhan, desentralisasi Indonesia telah menjadi pusat kebijakannya sejak akhir tahun 1990-an. Pergeseran utama yang terlibat adalah salah satu dari relokasi kekuasaan administratif utama dari pemerintah pusat langsung ke pemerintahan lokal.
Perubahan legislatif pada reformasi administrasi dan fiskal terutama berfokus pada tujuan praktis untuk desentralisasi. Tujuannya adalah untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, pemerintah harus lebih tanggap terhadap kebutuhan lokal.
Pertimbangan politik juga berperan dalam perubahan ini. Para pemimpin politik nasional pada umumnya percaya bahwa pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintahan yang terdesentralisasi akan mengurangi efek sentimen separatis (Fitriani dkk, 2005).
Kebijakan desentralisasi ini telah menciptakan agenda yang menuntut untuk peningkatan kapasitas di tingkat lokal (kotamadya/kabupaten) selama dekade terakhir dan juga meninggalkan sedikit lebih cepat untuk pengaturan tata kelola yang terkoordinasi di tingkat daerah (Hudalah dkk, 2014; Miharja dan Woltjer, 2010).
Konsekuensinya, desentralisasi pemerintahan di Indonesia melibatkan berbagai tingkat pembangunan, termasuk egoisme lokal dan fragmentasi institusional. Di bidang tata kota, misalnya, lembaga pemerintah daerah perkotaan telah mendirikan lembaga lokal dan bahkan “kerajaan mereka sendiri” (Finnan, 2009).
Kabupaten memiliki kecenderungan untuk melaksanakan kebijakan pembangunan sendiri, seperti di jalan atau penyediaan air, sehingga mengabaikan kebutuhan yang lebih luas untuk mengoordinasikan layanan dan infrastruktur penting ini dengan wilayah yang berdekatan.
Oleh karena itu, merupakan salah satu lanskap kelembagaan yang agak terfragmentasi dan praktik desentralisasi sebagai pekerjaan yang sedang berjalan.
Pemahaman ini menunjukkan perlunya penguatan pengaturan berkelanjutan di semua tingkat pemerintahan di Indonesia yakni di tingkat nasional yang semakin terpencil namun koordinatif, di tingkat kabupaten lokal dengan raja-raja lokal yang kurang lebih independen dan berbeda-beda, dan di tingkat regional, kesenjangan di antaranya berbagai inovasi dalam tata kelola muncul di semua tingkat ini.(***)
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri