SWARAPUBLIK – Apakah Anda pernah berpikir dapat multitasking atau mengerjakan lebih dari satu tugas dalam satu waktu? Misalnya mengerjakan tugas sambil makan, berkendara sambil menelepon, atau memasak sambil mengasuh anak. Kebiasaan ini dianggap dapat mengefektifkan waktu dalam menyelesaikan beberapa tugas.
Istilah multitasking pertama kali muncul pada 1965, merujuk pada komputer yang dapat melakukan dua atau lebih tugas dalam satu waktu. Istilah ini kemudian meluas lalu digunakan pada manusia, karena manusia pun dapat melakukan lebih dari satu tugas sekaligus.
Apakah manusia betul-betul dapat melakukan multitasking?
Melansir theproductivitypro.com, dua psikolog dari University of Utah, yakni David Strayer dan Jason Watson melakukan penelitian pada tahun 2010. Hasil penelitian itu menyatakan hanya terdapat 2,5% individu yang tergolong dalam kelompok supertasker. Supertasker sendiri merupakan sebutan bagi individu yang dapat melakukan lebih dari satu tugas bersamaan dan tetap efektif dalam keduanya.
Sebetulnya otak manusia tidak dapat melakukan lebih dari satu tugas yang memerlukan fungsi otak tingkat tinggi sekaligus. Maka diluar orang-orang supertasker tersebut sebenarnya tidak dapat melakukan beberapa tugas dalam satu waktu, tapi hanya berpindah dari satu tugas ke tugas lain (switch-tasking).
Melansir tirto.id, dikutip dari laman resmi University of Utah, Watson menyatakan, “menurut teori kognitif, individu-individu (supertasker) ini tidak seharusnya ada. Namun mereka dengan jelas melakukannya (multitasking). Jadi kami menggunakan istilah supertasker sebagai cara yang nyaman untuk menggambarkan kemampuan multitasking mereka yang luar biasa.”
Dengan menggunakan pemindai fMRI, otak supertasker terhubung lebih efisien dalam menangani banyak tugas sekaligus. Ketika mulitasking, otak supertasker menunjukkan lebih sedikit aktivitas dibandingkan otak manusia pada umumnya. Sehingga ketika orang lain kewalahan, mereka tetap dapat fokus dan kompeten.
Bagaimana dampak multitasking bagi otak?
Sekelompok peneliti dari The Institute of Psychiatry dari University of London pada 2005 menyatakan bahwa multitasking dapat menurunkan nilai Intellegence Quotient (IQ) hingga 10 poin. Lebih buruknya lagi, semakin sering seseorang melakukan multitasking, semakin sulit pula untuk berkonsentrasi pada satu tugas yang bersifat intelektual, seperti membaca buku pelajaran.
Para multitasker level berat pun memiliki kepadatan otak yang lebih rendah dalam anterior cingulate cortex. Bagian ini merupakan daerah penting untuk mengelola Emotional Quotient (EQ). Artinya, kebiasaan multitasking juga dapat menyebabkan stres, depresi, berkurangnya kepekaan sosial, serta masalah mental lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa multitasking tidak disarankan bagi individu yang tidak memiliki kemampuan supertasker. Sebaliknya, fokus pada satu pekerjaan dalam satu waktu (single tasking) dapat membuat Anda merasa tenang, lebih hemat energi, dan lebih baik dalam melawan distraksi.*** (Mahayuna Gelsha Supriyadi)