SWARAPUBLIK -Eropa secara resmi mengalami resesi ekonomi setelah Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara pengguna euro tercatat mengalami penurunan sebesar 0,1 persen pada kuartal pertama 2023. Penurunan ini merupakan kelanjutan dari kontraksi yang terjadi pada kuartal keempat 2022, yang juga sebesar minus 0,1 persen.
Resesi terjadi karena pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut di zona Euro, yang terdiri dari 20 negara, mengalami angka negatif.
Andrew Kenningham, Kepala Ekonom Eropa di Capital Economics, mencatat bahwa belanja konsumen saat ini terbebani oleh kombinasi data ekonomi yang buruk. Dia menyebutkan bahwa inflasi masih tinggi dan suku bunga terus meningkat tanpa henti.
“Kami menduga ekonomi akan berkontraksi lebih jauh selama sisa tahun ini,” katanya, dikutip dari CNN, Kamis (8/6).
Dalam konteks lain, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sebelumnya memperkirakan bahwa Amerika Serikat dan Eropa masih menghadapi risiko resesi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju masih berjalan lambat.
Perry Warjiyo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya sebesar 2,7 persen pada tahun ini. Bahkan, proyeksi tersebut diperkirakan akan meningkat sedikit sebesar 0,1 persen menjadi 2,8 persen pada tahun 2024.
“Kalau kita lihat negara maju memang tahun ini pertumbuhannya rendah hanya 1,1 persen, baik di AS 0,9 persen dan kawasan Eropa 0,8 persen. Bahkan, di kedua negara ini risiko resesi masih berlangsung,” ungkap Perry dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi XI DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Senin.
Kronologi Resesi Ekonomi Eropa
Dikutip dari CNBC, Menurut Charlotte de Montpellier, seorang ekonom dari ING Bank, estimasi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2023 diperkirakan hanya sebesar 0,5%.
“Sejak musim semi, semua data buruk,” katanya kepada AFP, menunjuk secara khusus pada produksi industri Jerman. “Ekonomi Eropa berada dalam fase stagnasi dan mengalami kesulitan melewati musim dingin karena guncangan energi.”
Walaupun terjadi penurunan harga gas dan minyak dalam beberapa bulan terakhir, kenaikan harga yang terjadi tahun lalu berdampak signifikan pada kepercayaan rumah tangga dan memaksa terjadinya penurunan dalam konsumsi.
Menurut laporan dari Capital Economics, mereka memperkirakan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) kemungkinan akan mengalami kontraksi lagi pada kuartal II-2023 sebagai akibat dari lanjutan kebijakan moneter yang semakin ketat.
“Permintaan domestik sangat terpukul oleh kombinasi inflasi dan kenaikan suku bunga,” katanya.
Inflasi utama di 20 negara Uni Eropa yang menggunakan euro mengalami penurunan menjadi 6,1% pada bulan Mei. Namun, angka inflasi tersebut masih jauh di atas target 2% yang ditetapkan oleh ECB.
Christine Lagarde, Kepala ECB, menyatakan bahwa inflasi masih terlalu tinggi untuk situasi di Eropa, dan ini mengindikasikan bahwa peningkatan suku bunga yang lebih rendah mungkin akan terjadi. Berita tentang resesi teknis juga dapat mendorong bank sentral untuk menunda penerapan aturan yang lebih ketat.
Editor:
Denny Surya