SWARAPUBLIK – Setelah sukses pameran tunggal I Ketut Teja Astawa dengan konsep pameran retrospektif. Mengawali pameran kali pertama tahun 2024, ArtSociates sebagai program pertama ArtSociates di tahun 2024 ini adalah penyelenggaraan pameran tunggal Goenawan Mohamad bertajuk “Sejauh Ini……..”
Pameran tunggal GM ini mengusung konsep
retrospektif bersama Wahyudin, sebagai kurator pameran, di Lawangwangi Creative Space, Bandung Barat, Jawa Barat, mulai tanggal 2 Februari sampai 2 Maret 2024, terbuka untuk masyarakat luas.
Pameran restrospektif merupakan pameran seni rupa yang menandai periode tertentu dan pilihan medium yang lebih lengkap terhadap seorang seniman atas pencapaiannya pada lini masa tertentu yang dianggap penting untuk diberi tanda khusus.
Pameran restrospektif Goenawan Mohamad ini menyajikan karya sketsa drawing, seni grafis, lukisan, artist book dan objek wayang pada tahun produksi 2016 sampai 2024. Karya terbaru pada pmaeran ini antara lain seni grafis dengan teknik cetak Gumoil di atas kertas katun dan lukisan cat minyak di atas kanvas berjudul “Gaza-Kollewitz”.
Wahyudin mengatakan proses kurasi pameran restrospektif ini cukup menantang dan berlangsung dengan lancar, baik itu dialog dengan Goenawan Mohamad menyoal produksi artistiknya serta pilihan estetik yang mengeskplorasi pelbagai medium seni rupa yang bisa dikerjakan oleh seniman dan sasterawan ini.
“Setelah memilah dan memilih karya-karya terbaik untuk pameran tunggal bertajuk “Sejauh ini………” dari 900-an karya menjadi 123 karya untuk dipamerkan di Lawangwangi Creative Space, Bandung,” katanya.
Sastrawan, penulis dan perupa Goenawan Mohamad memandang seni rupa sebagai ruang personal dan meditatif, selain menulis.
Drawing dan lukisan menjadi kerja kreatif yang memberi lebih banyak energi hidup yang makin menyala, ditambah proses cetak grafis di DEVFTO Printmaking Institute bersama masterprint Devy Ferdianto.
Teknik Gumoil print menjadi salah satu teknik grafis langka yang jarang diproduksi oleh seniman-seniman grafis Indonesia, misalnya Tisna Sanjaya yang lebih banyak menggunakan teknik litografi pada karyanya. Demikian halnya dengan Goenawan Mohamad yang menjajal hampir semua teknik grafis yang tersedia di DEVFTO Printmaking Institute, Ubud, Bali.
Goenawan Mohamad mengungkapkan proses melukis lebih mudah daripada menulis. Ia menjelaskan proses menulis lebih sulit dan perlu waktu yang lebih daripada menghadapi material seni rupa; lukisan, drawing serta seni cetak grafis.
“Pengalaman estetik bagi saya bukan ide. Prosesnya ada dua macam ekspresi yang ingin saya katakan. Ekspresi seni yang bersuasana, berangkat dari dan dalam suasana dan ide. Sausana bagi saya lebih dekat dengan yang ada dalam hati saya,” kata Goenawan Mohamad dalam Artist Talk di taman belakang Lawangwangi Art Space, Bandung, Jumat (2/2) sore.
Goenawam menuturkan, drawing pertama kali jadi kesukaannya karena bisa dilakukan di mana saja. Biasanya gambar orang dan binatang “Hewan itu kalo saya gambar ngga mirip ngga protes,” katanya.
Menurutnya, seni lahir dari keserderhanaan. Sesuatu yang tidak diguga-duga itulah estetik. “Seniman melukis sesuatu yang predictable itu sudah selesai menurut saya” ungkap pendiri majalah Tempo itu.
Devy itu mengajarkan banyak hal di studio grafis. Saya dikenalkan teknik Gumoil print oleh Devy dan saya sangat excited. Saya nervous dengan warna sebenarnya, saya senang dengan yang tidak terlalu berwarna. Mungkin saya harus tambahkan banyak warna biar lebih laku,” kata Goenawan.
Kemudian Devy Ferdianto menjelaskan dalam Artist Talk, bahwa, “Sebanyak 45% dari proses kreatif GM adalah karya cetak grafis. Itu luar biasa untuk seorang seniman.
Saking terlalu kompkels tentang teknik grafis, maka saya sodorkan plate kepada seniman besar ini ketika banyak seniman berkunjung ke Ubud. Karya grafis apa yang cocok untuk seorang sastrawan.
“Maka saya tawarkan artist book. Waktu itu terbitlah Kitab Kurawa. Setelah munculah ide ide, Kitab Hewan dan Kitab Hantu. Munculah karya-karya berikutnya. Sehingga lahir 150 plate grafis karya GM sampai sejauh ini.” ujarnya.
Sementara ini, Asmoedjo J. Irianto, kurator dan akademisi di FSRD-ITB, memberi pandangan bahwa, “Seorang tokoh sastera seperti GM berkarya rupa justru menarik, bagaimana seorang tokoh menunjukan kualitas puitiknya.
Karya mas Goen kuat di era digital saat ini, di mana aspek-aspek manual dan mengalir sangat bebas, tidak banyak berfikir atau menunggu gagasan apa atau konsep karya.
“Karyanya bisa disebut sebuah re-estetik dalam artian menjadi puitik karena tidak terbebani oleh konsep atau gagasan atau aspek formalisme dalam seni rupa seperti yang dipertimbangkan oleh perupa muda,” kata Asmujo.
Pameran retrospektif Goenawan Mohamad yang penting dalam sejarah seni rupa Indonesia ini dibuka oleh Prof. Bambang Sugiharto, budayawan dan akademisi filsafat di UNPAR, pada hari Jumat (2/2) petang di Lawangwangi Creative Space.
Bambang Sugiharto mengatakan dalam acara sambutan pembukaan pameran restrospektif Goenawan Mohamad “Sejauh Ini….” di Lawangwangi Creative Space, Bandung, “Saya selalu menjadi pengagum karya sastera mas Goen.
“Bila Asmoedjo mengatakan karya mas Goen ini sebuah re-estetik, tapi buat saya karya-karya Goenawan Mohamad ini post-aesthetic karena mas Goen tahu dan paham semua mazhab seni. Karyanya seperti jejak batin apa yang pernah terjadi pada diri mas Goen,” katanya.
“Karyanya seperti sebuah emanansi being, ada vibrasi yang langsung menyergap. Gerak waktu yang spontan, otentik.” tuturnya.
Andonowati, Direktur ArtSociates, mengungkapkan bahwa pameran Goenawan Mohamad di Lawangwangi Creative Space merupakan pameran penting bagi ArtSociates untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman estetik bagi masyarakat luas, khususnya karyakarya Goenawan Mohamad.
Kemudian, pada tanggal 22 Februari 2024 mendatang, ArtSociates akan membuka ruang baru bernama Hibridium di lingkungan Lawangwangi Art Space, khusus untuk karya seni medium hibrid, karya multiple seperti cetak grafis, drawing, dan medium lain yang lebih terjangkau.
“Pameran perdana di ruang Hibridium akan dikurasi oleh Asmoedjo J. Irianto,” katanya.
Selain melihat karya-karya Goenawan Mohamad secara langsung di Lawangwangi Creative Space, kita bisa membaca perjalanan karir Goenawan Mohamad sebagai seniman di Indonesia.
Goenawan Mohamad, akrab dipanggil GM, adalah sastrawan yang juga akrab dengan seni rupa sejak awal 1960-an, ketika ia tinggal bersama para perupa Sanggar Bambu dan belajar melukis pada Danarto, Syahwil, dan Mulyadi W.
Ia juga dekat dengan Nashar dan Zaini. GM mulai memamerkan secara formal sketsa-sketsanya kepada umum dengan judul “PE.TIK.AN” di Plataran Djoko Pekik, Yogyakarta (2016).
Semenjak itu, karya-karyanya berturut-turut tampil dalam sejumlah pameran tunggal dan bersama. seperti lewat pameran, “Kata, Gambar”, 2017, di dia.lo.gue artspace, Jakarta, dan pameran tunggal terakhirnya pada 2023 lewat “Santiran”, di CGartspace, Jakarta. Pada Juni 2018, GM berkolaborasi dengan perupa Hanafi dalam pameran duet mereka berjudul “57 x 76” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Karya-karyanya juga dipamerkan untuk publik lewat berbagai pameran bersama, di antaranya di Museum OHD, Magelang (2019), Galeri Semarang (2019), MDTL (Museum dan Tanah Liat) Yogyakarta (2019), SIKA Gallery (2022), Lanö Art Project (2023), dan ArtJog (2023).
Dalam dua tahun terakhir, GM semakin tekun menggarap karya-karya cetak grafis seturut dengan perkenalannya dengan Devy Ferdianto, seorang master printer yang mengelola DEVFTO Printmaking Institute. Pada 2023, karya-karya cetak saring GM dipamerkan lewat pameran, “Kitab Hewan”, di SIKA Gallery, Bali, dan ArtJog, Yogyakarta; “Dua Kitab, dsb.”, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta; “Aistheta” di Orasis Art Space, Surabaya, Jiwa Gallery, Yogyakarta, dan “Santiran”, di CGartspace, Jakarta.
GM membuat ilustrasi untuk buku-bukunya sendiri, antara lain “Don Quixote” (2011 dan 2013), “Fragmen: Sajak-Sajak Baru” (2017), “Travelling with God” (2019) dan “Di Ujung Bahasa: Antologi Puisi 1961-2022” (2023). Bukunya tentang seni rupa, antara lain “Pigura tanpa Penjara” (2019) dan “Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk: Esai-Esai Seni Rupa dan Filsafat Seni” (2019).