SWARAPUBLIK — Pecinta musik, khususnya penggemar rilisan fisik pasti tidak asing dengan istilah jajan rock. Tagar yang ramai di Instagram sejak beberapa tahun lalu ini jadi penanda di tengah derasnya arus digital, kecintaan penikmat musik terhadap rilisan fisik tampaknya belum pudar.
Sebagai kota yang banyak melahirkan musisi-musisi kenamaan, Bandung juga punya wahana jajan rock, loh!
Lokasinya di Jalan Dipatiukur Nomor 68. Jika anda melintas dari arah kampus Universitas Padjadjaran menuju persimpangan Dago, letaknya ada di sebelah kanan.
Patokan mudahnya, anda bisa melihat lokasi ini dari SPBU Dago. Perhatikan ruko-ruko yang ada di seberangnya. Di lantai dua, anda akan melihat ada tumpukan kaset beserta beberapa kawula muda yang sibuk mencari rilisan fisik kesukaan mereka.
Lalu saat anda mendekat, suara-suara bising distorsi gitar atau dentuman bas serta drum dari musisi-musisi lawas akan mengingatkan anda pada masa-masa jaya rilisan fisik.
Saat Humas Kota Bandung berkesempatan mengunjungi DU68 beberapa waktu lalu, tampak aktivitas sore hari di sini ramai oleh pengunjung yang merupakan kawula muda.
Di tengah kemudahan menikmati layanan pemutar musik via aplikasi digital, para pemuda yang usianya rata-rata 20-an tahun ini masih mencari jejak-jejak lama, peninggalan sejarah industri musik, yakni rilisan fisik.
“Seru aja. Kayak kita bisa nemuin hal-hal yang mungkin belum ada di Internet,” kata Andito (20).
Mahasiswa yang sedang melanjutkan pendidikan di Jakarta itu mulai gemar mengoleksi rilisan fisik sejak beberapa tahun belakangan. Beberapa kota disambanginya untuk mencari rilisan fisik kaset.
Di Bandung, ia langsung menjadikan DU 68 sebagai tempatnya berburu.
Soal mengapa dirinya masih mengoleksi rilisan fisik, Andito mengaku selalu tertarik pada sampul kaset. Musisi yang merilis album akan menulis semacam ucapan terima kasih.
Lewat sampul itu pula, biasanya kita yang tertarik menguliti jejaring atau kawan dekat musisi favorit kita bisa menemukannya, karena biasanya sang musisi akan menuliskannya pada bagian ‘thanks to’.
Hal yang sama juga dilakukan Joan. Pemuda asal Malang ini jauh-jauh datang ke DU 68 hanya untuk mencari kaset pita Chicago. Ia mengetahui toko musik ini dari internet dan terbang ke Bandung untuk berburu.
“Di daerah saya udah agak susah nyari kaset. Saya banyak dengar soal DU 68, dan benar saja, apa yang saya cari, bisa ditemukan di sini,” ujar Joan.
23 Tahun Eksis dan Jadi Pusat Wisata Musik
Vikry, atau akrab disapa Bob adalah orang di balik DU 68. Sejak 2000, toko musik ini sudah eksis. Kepada Humas Kota Bandung, Bob mengisahkan awalnya DU 68 menjual rilisan fisik bekas, sehingga harganya pun lebih terjangkau.
“Tahun segitu (2000-an) merupakan masa jaya rilisan fisik. Toko rilisan fisik masih banyak yang buka. Nah, kita menjual rilisan fisik second, jadi harganya lebih murah,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, pergeseran tren menikmati musik ke era digital memberi sumbangsih terhadap tumbangnya banyak toko rilisan fisik. Jika anda mengenal penjual rilisan fisik di Jalan Cihapit ataupun Astanaanyar, kondisinya kini tak seramai dulu. Jumlah rilisan fisiknya pun tak selengkap dulu.
“Di sini mungkin bukan yang terlengkap, tapi kita adalah salah satu yang masih survive. Jadi mungkin banyak orang yang datang ke sini, karena kami masih ada,” terang Bob.
Ribuan kaset pita, CD, dan piringan hitam ada di sini. Berbagai kalangan pengunjung pun hilir mudik.
Kata Bob, untuk datang ke DU 68, anda tak harus membeli rilisan fisik. Datang ke sini lalu berdiskusi tentang musik pun diperbolehkan.
Bob juga mengaku 23 tahun eksistensi DU 68 tidak lepas dari suka dan duka yang beragam. Selain kembang kempisnya industri musik bagi penjual riisan fisik, ada kebanggaan dari DU 68 karena bisa mempertemukan banyak pecinta musik.
“Belum lama ini ada mantan artis cilik Anita Hadi. Dulu dia bikin vinyl waktu usianya 12 tahun. Sekarang usianya 50 tahunan, dan dia menemukan rilisan fisiknya sendiri di sini,” terang Bob.
Ia juga membagikan sedikit kiat-kiat bagi anda yang gemar mengoleksi rilisan fisik. Menurutnya, rilisan fisik yang anda miliki harus sering diputar, namun juga dijaga kualiitas pitanya.
“Pastikan pitanya enggak rusak dengan memutar pakai alat yang baik, serta menjauhkan dari ruangan yang lembap,” terangnya.
Bentuk Ekosistem Pecinta Musik Bandung
23 tahun bukanlah perjalanan yang singkat. Hari ini, DU 68 bukan sekadar toko musik saja, melainkan juga salah satu ekosistem musik yang ada di Kota Bandung.
Di sini, ada pecinta rilisan musik, musisi, kolektor. hingga musisi itu sendiri.
“Pecinta musik enggak hanya dari Bandung. Tadi kita sama-sama lihat ada orang Jakarta dan Malang yang datang ke sini. Selain itu, kami juga mengirim (rilisan fisik) ke berbagai belahan dunia. Ke daratan Cina sana, dan oh ini, kami mau ngirim kaset ke Perancis,” beber Bob sembari menunjukkan bingkisan yang sudah siap dikirim dengan alamat Paris, Prancis.
Berbicara ekosistem, Taru yang juga merupakan salah satu pecinta musik dan kolektor rilisan fisik yang menghabiskan banyak waktunya untuk nongkrong di DU 68 tak menampik hal tersebut.
Ia mengaku, bersama DU 68 menyeleksi musisi-musisi baru untuk dibuatkan rilisan fisik. Biasanya, musisi-musisi tersebut dibuatkan rilisan fisik kaset.
“Kualitas audio rilisan fisik itu lebih bagus dibandingkan digital. Tidak ada batasan dalam analog. Ibaratnya kita memotret dengan kamera analog, mau dicetak sekian juta piksel pun, kualitasnya sama. Nah, di musik pun sama,” kata Taru.
Selain itu, aspek sentimentil dan ekonomis juga menjadikan banyak orang kembali mengoleksi rilisan fisik. Soal band yang dijaring untuk dibuatkan rilisan fisik, menurut Taru, akan ada kebanggaan bagi musisi atau band yang merilis karyanya dalam bentuk fisik.
“Dulu, ketika zaman kaset, musisi yang merilis album isinya katakanlah 10 lagu, itu mungkin mereka nyiapin demo sampai 100 lagu. Artinya, proses seleksinya lebih ketat. Kalau sekarang kan anda tinggal buat lagu di komputer, upload ke internet, nasibnya tinggal tunggu aja. Artinya, ada kebanggaan bagi mereka (musisi atau band) yang mempunyai rilisan fisik. Boleh dibilang, mereka setara dengan Eric Clapton,” ujar Taru sembari bercanda.
Ia juga mengajak para pecinta rilisan fisik untuk sama-sama mengarsipkan rilisan fisik sejak saat ini, serta mendengarkan banyak referensi musik.
“Jangan hanya terpaku di satu artis atau genre saja. Dengarkan berbagai musik. Dan perlu diketahui, anda bisa datang ke sini hanya untuk ngobrol, enggak harus membeli,” pesannya.
Toko musik DU 68 ini buka mulai siang hingga malam hari. Saran kami, anda bisa datang ke sana antara pukul 14.00- 20.00 WIB. Selain berburu rilisan fisik, anda bisa ngobrol dan berbagi dengan sesama pecinta rilisan fisik. (ray)***
Editor:
Denny Surya