SWARAPUBLIK – Sebanyak tiga puluh satu karya terdiri dari lukisan di atas kanvas dan kertas serta karya trimatra karya pelukis perempuan asal Bali, Satya Cipta kembali menyapa pecinta seni di Kota Bandung.
Pameran yang dilakukan oleh tim ArtSociates akan berlangsung mulai tanggal 11 November 2023 hingga 6 Desember 2023 di Lawangwangi Creative Space, Bandung dengan mengambil tema
“Dark and Light; Stories of The Archipelago”.
Satya Cipta, pelukis perempuan asal Bali dengam latar belakang pendidikan seni pertunjukan di Jakarta ini jatuh cinta pada lukisan tradisional gaya Batuan, Ubud – Bali .
Figur perempuan pada lukisan-lukisannya adalah refleksi diri pelukis sebagai perempuan Bali yang syarat dengan kegiatan spiritual dalam budaya Hindu Bali.
Satya Cipta tumbuh dan dibesarkan di pesisir utara pulau Bali. Belajar seni pertunjukan modern di Institute Kesenian Jakarta, lalu belajar melukis secara otodidak. Sampai kemudian memilih lukisan gaya Ubud sebagai pilihan estetik yang mengantar karirnya dalam melukis hingga saat ini.
Sejarah lukisan tradisional di Bali berawal dari desa Kamasan, Klungkung. Berfungsi sebagai media spritual masyarakat Hindu. Lukisan Kamasan berkembang ke desa-desa lain, gaya Batuan Ubud salah satu yang menonjol dalam bentang sejarah seni lukis Bali.
Lukisan tradisional Bali pun terus berkembang hingga beririsan dengan seni modern Indonesia melalui persinggungan artistik dan estetik dengan seni lukis dari Barat.
Pameran bertajuk “Dark and Light; Stories of The Archipelago” memajang 31 karya Satya Cipta yang terdiri dari lukisan di atas kanvas dan kertas serta karya trimatra. Pameran ini diselenggarakan oleh tim ArtSociates dan akan berlangsung mulai tanggal 11 November 2023 hingga 6 Desember 2023 di Lawangwangi Creative Space, Bandung.
Andonowati, direktur ArtSociates mengatakan, bshwa kami berfokus pada berbagai media seni yang pada awalnya memiliki batasan formal, namun kini diperluas melalui eksplorasi seniman yang mendorongnya melebihi batas-batas itu.
Dengan semangat ini, kami terus melangkah maju, dan kami sangat bersemangat untuk mengapresiasi karya-karya Satya Cipta saat ini. Lukisan Satya di luar tradisi seni lukis Bali. Persoalan yang diangkat Satya justru merepresentasikan kehidupan perempuan di Nusantara dengan justifikasi Satya secara personal.
Lukisan-lukisan Satya Cipta terlihat khas dengan figur perempuan sebagai sosok utama yang jadi pintu masuk penafsiran pecinta seni lukis, serta garis-garis yang lentur namun kokoh memberi narasi dan rasa dari gagasan tentang kehidupan perempuan yang menjadi latarbelakang gagasan artistic pelukis perempuan ini. Satya Cipta juga menggunakan serbuk glitter sabagai salah satu media campuran catnya yang dikuaskan pada lukisan-lukisannya.
Jean Couteau dalam kuratorial pameran, menyebutkan bahwa, “Satya kemudian meneruskan gaya garis khas Lempad ini dengan mengalihkan fokusnya dari narasi ke dimensi batin. Melalui kepiawaiannya dalam mengolah garis, dia memperkenalkan aspek psikologi ke dalam seni rupa Bali.”
Garis pada lukisan Satya digarisbawahi oleh kurator pameran sebagai pilihan artistik pelukis perempuan ini setelah Satya Cipta (sang pelukis yang berpameran ini) mempelajari teknik lukisan tradisi Batuan (salah satu desa di Bali) melalui Made Budi dan Ketut Budiana yang dipandang lebih modern.
Lalu, Satya mempelajari lebih dalam mengenai gaya gambar dari I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978). Lempad adalah seniman yang “menemukan” gambar di atas kertas bergrain berkualitas tinggi yang diperkenalkan oleh Walter Spies di Bali pada akhir 1920-an.
Nyaris tanpa bidang, Satya fokus pada kekuatan garis dengan garapan gelap terang seperti yang diasa dibuat oleh Nyoman Lempad. Kesederhaan sekaligus kekuatan garis pada lukisan Satya memberikan rasa yang unik dengan narasi tentang kondisi psikologis perempuan.
Catatan Jean Couteau, kurator pameran, dalam katalog pameran ini menyatakan bahwa Satya selalu bicara tentang dirinya sendiri yaitu tentang kondisi batinnya sebagai perempuan. Seperti banyak perempuan, dia terkoyak di antara terang dan gelap, antara impian kesucian murni, dan ancaman kekerasan. Dia bukan wakil, tetapi suara batin kaumnya.
“Tujuh tahun lamanya lukisan Satya Cipta diamati oleh Jean Couteau. Tarikan garisnya sangat langka ditemukan pada seniman muda yang bisa membawa garis Nyoman Lempad dalam konteks seni rupa saat ini. Garis menjadi situasi batin Satya Cipta. Dia mengelola garisnya menjadi satu nada melalui lukisannya dari mitos dan sejarah Bali. Garis Satya di luar wacana konseptual yang banyak mengemuka,” ujar Jean Couteau di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Sabtu (11/11) sore.
Satya Cipta menjelaskan bahwa, pameran ini adalah rangkuman kecil dari perjalan hidup saya sebagai perempuan yang lahir di Indonesia, yaitu Bali. Pengalamnan-pengalaman hidup sebagai perempuan Bali. Pengalaman hidup perempuan Bali sangat menyakitkan, karena sistem budaya Bali memposisikan perempuan. Persoalan serupa juga ditemukan di kebudayaa lain di Nusantara melalui pengamatan langsung Satya Cipta selama proses berkarya.
“Melukis sebagai cara saya untuk bertahan sebagai perempuan Bali. Saya ingin mendobrak norma yang diterapkan oleh budaya Bali kepada perempuan Bali yang dibuat oleh sistem partriarki, demikian halnya dengan perempuan di kebudayaan Nusantara lainya,” kata Satya Cipta.
Keindahan garis Satya berkelindan di tiga belas lukisan di atas kertas, 16 lukisan di atas kanvas, satu patung dan satu instalasi dengan gambar yang disorot dari proyektor siap diapresiasi oleh pecinta seni rupa Indonesia.***
Editor:
Denny Surya