madaniacoid — Kepala Bappeda Jabar Iendra Sofyan mengatakan persoalan stunting berkaitan erat dengan angka kemiskinan. Sehingga perlu penanganan bersama dari semua sektor.
Menurutnya, berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di Jabar mencapai 20,2 persen pada 2022.
“Angka tersebut menurun 4,3 poin dari tahun sebelumnya, dimana pada 2021 prevalensi balita stunting 24,5 persen,” kata Iendra saat membuka membuka Evaluasi Percepatan Penurunan Stunting Provinsi Jawa-Barat, pada Senin, 5 Juni 2023.
Namun, tegasnya, berbagai tantangan stunting ini masih ada sehingga setidaknya ada tiga hal yang harus dipahami bersama untuk menghadapi Indonesia Emas 2045 mendatang.
Iendra mengingatkan sebentar lagi akan ada pemilihan kepala daerah dan pemimpin nasional. Hal ini menjadi krusial karena tongkat estafet kepimpinan ini kebijakannya harus berpihak pada penyelesaian persoalan stunting yang sudah berjalan selama ini.
“Semua daerah termasuk pusat sedang menyusun program baik yang satu tahun, tiga tahun. Ada masa transisi kekosongan pejabat, Pak RK (Gubernur) termasuk wagub akan diganti oleh PJ dan, sebagai PJ nya saya kira bisa melanjutkan program, termasuk stunting,” ujarnya.
“Pemimpin daerah dan pemimpin nasional terpilih nanti, mempunyai program melanjutkan apa yang kita cita-citakan, dan tentunya nanti dievaluasi oleh BPKP, apa yang musti dilakukan untuk menjadi perbaikan kita kedepan,’ imbuhnya.
Yang kedua, ujarnya adalah tantangan program penurunan stunting di Jawa Barat, dan bagaimana konsep penyelesaian. persoalan stunting semuanya berawal dari penduduk. Karena persoalan stunting ini akan terus bertambah, karena penduduk akan terus berkembang.
“Ketiga, harapan dari Pak Wagub, adalah untuk menyelesaikan program-program dan masalah kemiskinan dan stunting secara bersama – sama atau pentahelix,” tegasnya.
Sebetulnya, tegas Iendra, kuncinya dari penyelesaian persoalan tersebut adalah dengan kolaborasi.
“Stunting dan kemiskinan itu pada dasarnya sama, karena kebanyakan stunting itu dialami masyarakat yang rawan akan kemiskinan. Oleh Karena itu, tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja, tapi harus berkolaborasi, bersama-sama,’ ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Plt Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Dadi Ahmad Roswadi mengungkapkan, program BPS merupakan salah satu upaya menuju generasi emas tahun 2045.
“Karena itu, penanganan dan pencegahan stunting dilakukan melalui holistik, kolaboratif sinergi dan pendekatan multi stekholder,” ujarnya.
Oleh karenanya, untuk melakukan
percepatan penurunan stunting di Jawa Barat harus dilakukan bersama oleh seluruh pihak agar dapat menuju Jabar Zero New Stunting guna menyongsong Indonesia Emas Tahun 2045 mendatang.
Dadi mengungkapkan saat ini jumlah tim pendamping keluarga secara nasional mencapai 200 ribu, dimana Jabar terdapat 73 ribu lebih. Sedangkan untuk dukungan dana, di tahun 2023 untuk Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 449 miliar, dengan rincian 38 miliar untuk fisik, 410 miliar di angka BOKB.
“Kalau kita melihat, angka stunting Jawa Barat turun dari 24,5 menjadi 20,2. Meskipun demikian, stunting masih menjadi tantangan Pemerintah, karena target prevalensi stunting dalam RPJMUD 2023 adalah 19,2 persen, sehingga bisa tercapai dengan sangat rendah,” ujarnya.
Dadi menegaskan Kegiatan Evaluasi ini bertujuan mengukur capaian pelaksanaan program percepatan penurunan stunting yang sedang berjalan, apakah mencapai target seperti yang dilakukan BKKBN Jawa-Barat, disamping mengidentifikasi hambatan pelaksanaan program.
Sementara itu dalam sesi panel, Sekretaris Utama (Sestama) BKKBN pusat Tavip Agus Rayanto mengatakan pelaksanaan evaluasi ini ditujukan untuk menilai pelaksanaan percepatan penurunan stunting.
“Evaluasi ini sejalan dengan evaluasi prepres yang sedang dijalankan oleh pusat”, katanya.
Tavip, yang juga sebagai sekretariat Percepatan Penurunan Stunting (PPS) tingkat nasional ini menjelaskan bahwa percepatan penurunan stunting ini merujuk pada kerangka pendekatan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang setidaknya menggunakan 3 (tiga) pendekatan.
“Yakni meliputi pendekatan intervensi gizi terpadu, pendekatan multisektor dan multipihak, serta pendekatan keluarga berisiko stunting,” ujarnya.
“Spiritnya adalah percepatan dan fokus pada kerja di lapangan. Pesan dari Kepala BKKBN, kita ini kan kerjanya tinggal satu setengah tahun, untuk 14% di tahun 2024, perubahannya tidak hanya fokus dalam menyusun indikator, belum nanti habis untuk sosialisasi, malah ngga kerja-kerja di lapangan.” pungkas Tavip. ***
Editor:
Denny Surya